Selasa, 04 November 2014

SEVEN DEADLY SINS DAN DOSA KEBODOHAN



Dunia maya memang ibarat belantara asing. Luas, namun tanpa arah. Pekan ini, ramai diberitakan ihwal penangkapan administrator akun Twitter @TM2000 oleh Penyidik Subdit Cyber Crime, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. RN disinyalir melakukan tindakan pemerasan terhadap salah satu petinggi PT. Telkom, berinisial AS. RN juga diduga sebagai aktor interlektual di balik penyerangan akun twitter tersebut. Jamak kita ketahui, sebelum berganti nama menjadi @TM2000, akun ini bernama @TrioMacan2000. Akun yang mahsyur karena sering memberi kritik politik pedas pada para politikus Indonesia ini juga sempat membuat heboh lini massa ketika sempat memunculkan isu perselingkuhan Inggrid Kansil, istri mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Syarief Hasan dengan Ryan Syarif (CNNIndonesia, 2014).
Kasus diatas hanyalah satu dari ratusan atau lebih kasus yang menjamur di dunia maya baik di dalam maupun di luar kendali tim penyidik. Pekan ini, jagad dunia maya juga digemparkan oleh kasus MA yang menghina Presiden Jokowi lewat fitur gambar. Selain itu, kita telah kenyang dan kritis pada banyak akun juga situs-situs yang terkenal melakukan aksi propaganda ke masyarakat maya dengan menyebarkan fitnah atau kebencian.
Dunia dalam jejaring (daring) dipenuhi oleh manusia-manusia yang mengerti teknologi digital, namun sebagai manusia mereka tentu memiliki motif yang berbeda-beda. Dunia bayang-bayang ini tidak hanya berisi manusia berpengetahuan yang menyebarkan kebaikan, namun juga jenis manusia yang tidak bertanggung jawab. Motif bisnis, politik, sosial, budaya bahkan sekadar iseng-iseng berjalin-kelindan menjadi satu. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang menunjukan kesetiaannya terhadap moralitas, namun dalam dunia digital ia adalah manusia ingkar. Sebaliknya, di alam nyata ia adalah sejenis manusia yang tidak patuh terhadap moralitas, namun di dunia maya ia memoles kepribadiannya tersebut melalui citra virtual.
            Saya ingin menarasikan sebuah paradoks, atau mungkin layak juga disebut ironi. Begini. Setiap hari saya menulis berita. Berita saya mengandung 5W+1H layaknya hardnews, saya unggah di laman dotcom dan dibaca oleh minimal ribuan pembaca tiap harinya. Apakah saya seorang jurnalis? Bukan. Saya hanya seorang kepepet yang kadang butuh uang untuk makan dan membeli buku. Saya adalah kacung dari tuan dotcom (pemilik ratusan domain dotcom) yang dikelola untuk menjadi lahan subur bagi dollar.
Saya tidak melakukan kerja-kerja jurnalistik. Dalam menghasilkan berita, jika kebetulan saya sedang senggang, maka berita akan saya sunting dan verifikasi berdasar teknik perbandingan sumber berita mayoritas. Tapi jika saya sedang sibuk --jika tidak layak menyebut malas-- tak jarang saya hanya melakukan kerja copy-paste dari sumber mana suka untuk memenuhi tenggat pekerjaan. Berita produk copy-paste itu tersebar luas dan nyatanya mendapat minimal viewer mencapai angka puluhribu dalam hitungan jam. Viewer terkonversi menjadi Dollar. Dollar diperoleh Bos saya. Saya puas hanya dengan recehan.
Situs itu memakai nama dan design meyakinkan hingga tampil layaknya portal berita profesional. Siapa saja 'jurnalis' situs dotcom itu? Saya juga tidak tahu. Maaf, saya menjadi buruh ketika benar-benar kepepet. Bos saya tiap bulan bisa saja ganti-ganti. Seringnya, kami jarang kenal atau bertatap muka. Jika relasi dengan Bos saja begitu, apalagi antar buruhnya --yang saya tak tahu kualitas mereka; mungkin lebih baik atau lebih buruk dari saya. Pertanyaan akhirnya, kenapa saya mau melakukan pekerjaan semacam itu? Dalam hal ini, kembali saya menjawab ringan,”Apa anda yakin bahwa yang saya ceritakan itu memang benar saya pribadi atau saya hanya sekadar menarasikan?”. Itulah absurditas dunia dalam jejaring.
Kovach dan Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme (2001) memaparkan sembilan unsur yang menjadi keabsahan laporan jurnalistik. Hal pertama dan utama yang selalu menjadi perdebatan adalah perihal kebenaran. Dalam setiap isu, masyarakat akan selalu bertanya : Kebenaran yang mana? Kebenaran menurut siapa? Bukankah tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat pemikiran punya dasar perihal kebenaran yang tidak sama identik sama satu dengan yang lain?
Kebenaran jurnalisme media menurut Kovach adalah apa yang disebut sebagai kebenaran fungsional, yakni tentang prosedur dan proses. Kebenaran dalam jurnalisme adalah terlaksananya teknik penggalian informasi serta disiplin verifikasi. Jamak dalam semua profesi, sebenarnya memberlakukan kebenaran sejenis. Polisi, hakim, guru, pemimpin perusahaan adalah para justifier kebenaran fungsional. Kebenaran dalam jurnalisme bukanlah kebenaran secara hakikat, filsafati, namun sebatas kebutuhan seseorang kepada informasi yang faktual dan aktual.
Problematikanya adalah, jika projournalism (jurnalisme profesional) bekerja berdasar sembilan iman jurnalistik Bill Kovach, yang masih sangat memperhatikan kebenaran fungsional, lalu dengan apa situs-situs dotcom tersebut bekerja? Seven Deadly Sins.
Lukas Luwarso dalam buku Pelanggaran Etika Pers (2007) menyebut ketujuh dosa besar itu adalah : Penyimpangan informasi, dramatisasi fakta, serangan privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni pikiran anak dan penyalahgunaan kekuasaan. Sayangnya, tujuh dosa besar itulah yang memiliki lahan Dollar di Indonesia. Situs-situs dengan topik seks, hiburan dan kecantikan tercatat paling banyak diakses dalam negeri darurat karakter ini.
Seven Deadly Sins adalah iman para bos peternak dotcom (yang kadang tak malu menyebut diri melakukan kerja citizen journalism). Berdasarkan iman seven deadly sins, situs-situs itu dapat mengelola ratusan domain per hari hanya dengan memainkan kata kunci untuk menyusun artikel hingga jebakan-jebakan pada level judul. Mereka sangat paham budaya masyarakat yang gemar bergosip dan anehnya kehidupannya menjadi sangat dinamis berkat gosip. Mereka sangat paham bahwa hari ini banyak orang justru ingin menunjukkan bahwa saya tahu lebih dulu, saya tahu lebih cepat, dan saya tahu lebih banyak. Maka, berlomba-lombalah orang mengumpulkan berita, berkomentar, menyebarluaskan kejadian atau informasi lewat media digital yang tidak dikekang-kekang, tidak disunting-sunting, tidak dikontrol oleh pemilik media.
Hiperrealitas dunia maya membuat manusia menjadi asing dengan dirinya dan dunia sekitarnya. Yasraf Amir Pilliang (2011) menyebut hiperrealitas sebagai sebuah kondisi terhadap matinya realitas, yaitu diambilnya posisi realitas itu oleh apa yang sebelumnya disebut nonrealitas. Ia mewujudkan dirinya menjadi realitas artifisial yang bersifat faktual, lewat kemampuan sains dan teknologi seni dan citra. Ia adalah sebuah kondisi yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas telah dilampaui dan diambil alih oleh substitusi yang tercipta secara artifisial lewat sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya, banyak orang mati-matian membela antau menyebar fitnah dan caci maki pada Nabi-Nabi baru dalam dunia jejaring, dengan kerelaan, tanpa memperoleh sanjungan apalagi imbalan.
Selamat datang pada mazhab berita dimana orang merasa bebas untuk menyampaikan apa yang saya ingin sampaikan tanpa rasa was-was, tanpa rasa malu ataupun bersalah. Toh, kalau kemudian ternyata apa yang  diwartakan tak sesuai kenyataan, itu adalah hal gampang, tinggal koreksi dan buat saja berita baru. Untuk situs detikan, hal tersebut adalah lahan subur bagi Dollar.

Ditulis oleh Kalis Mardi Asih
Lembaga Pers Mahasiswa Islam, HMI Cabang Surakarta
Top of Form

Kapitalisasi Perempuan dan Ekofeminisme



Perempuan abad 21 adalah perempuan bebas, merdeka. Stereotype 3 M alias Masak, Macak, Manak adalah olok-olok masa lampau yang tak berlaku di zaman penuh gemerlap modernitas. Perempuan sudah begitu jauh melampaui dan menembus tapal sekat domestifikasi hingga di jalanan dan di media cetak maupun elektronik penuh dengan citra perempuan, sebuah citra paradoks yang sayangnya terbatas pada obsesi imajinasi iklan. Citra perempuan adalah citra kecantikan yang diwakili oleh tubuh langsing, kulit putih mulus, serta rambut hitam lurus.
Perempuan dalam obsesi iklan hanyalah salah satu contoh bagaimana kapitalisme menjadikan manusia tak lebih dari sekadar objek-objek tanpa entitas ruh, akal serta imajinasi. Kita akan menengok para perempuan heroik, nun jauh di Kabupaten Rembang, tepatnya di jalur Pegunungan Kendeng. Hampir enam bulan kaum perempuan melakukan aksi menentang pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia (Tbk) yang mereka anggap akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan alam tempat mereka tinggal.
Aksi dipimpin oleh Yu Sukinah bersama 88 Ibu lainnya dimana tercatat 7 orang diantaranya hamil (Candraningrum dalam Seminar Ekofeminisme di Jurusan Sosiologi FISIP UNS, 2014). Mereka teguh tinggal di tenda-tenda, menyuarakan kehendak menolak industrialisasi di kawasan karst jalur Pegunungan Kendeng. Mereka lantang berteriak agar para komprador kapitalis tidak merampas hak hidup mereka, sebab alam bagi mereka adalah kehidupan. Pegunungan Kendeng adalah Ibu yang memberikan limpahan air kehidupan bagi masyarakat Kabupaten Pati, Rembang dan Blora. Kapitalisme merongrong perempuan. Perempuan bergerak melawan kapitalisme.
Buku berjudul Ekofeminisme II, Narasi Iman, Mitos, Air&Tanah (Jalasutra,2013) menarasikan berbagai upaya industri dalam mengkapitalisasi perempuan dalam berbagai wajah mengerikan. Perempuan di satu sisi menjadi alam yang tinggi dan luhur seperti tergambar dalam idiom ibu pertiwi, gunung, laut. Di sisi lain, perempuan berdasar mitos-mitos dalam masyarakat juga sering disamakan dengan konotasi negatif, yaitu dengan tanah (lahan garapan), bunga, ayam, malam dan bulan.
Narasi perempuan yang bekerja juga menyisakan ironi dalam industri-industri rumahan. Perempuan bekerja membatik di rumah (home workers), industri memanipulasi rumah yang berubah menjadi industri (secara fisik maupun ruh) dengan sistem POS (Putting Out System). Relasi produksi informal memanfaatkan perempuan dan ruang domestik perempuan sebagai arena produksi batik dengan upah yang sangat rendah atas nama efisiensi biaya. Pandangan bahwa perempuan bekerja hanyalah sebagai tambahan (daripada menganggur saja tanpa produktifitas) mengesahkan pemberian upah rendah pada perempuan. Akibatnya, jamak kita lihat pabrik-pabrik hari ini lebih senang mempekerjakan perempuan sebagai buruh, daripada laki-laki.
Melalui POS, industri tidak perlu menyediakan tempat, peralatan kerja, fasilitas kerja dan pendukungnya seperti air, listrik, peralatan batik, dan lainnya (Hunga, 2013:189). POS adalah juga gabungan wajah penindasan kembar antara patriarki dan kapitalisme ketika industri tidak menyediakan jaminan biaya bagi pekerja seperti makan, transport, kesehatan, dan kecelakaan. Inilah manipulasi ruang domestik yang mewujudkan cita-cita besar kapitalisme, yakni minimalisasi cost production yang berasal dari tenaga manusia untuk menghasilkan jumlah produksi sebesar-besarnya.
Skema industri rumahan menghasilkan efek yang tak sesuai dengan keuntungan berupa upah tambahan , yakni kerusakan ekologis yang serius dan mengancam. Setiap tahunnya, industri batik memproduksi kadar emisi CO2 tertinggi di antara sektor UKM lainnya, yang umumnya merupakan hasil dari ketergantungan  akan bahan bakar (minyak tanah) dan penggunaan listrik yang tinggi. Sejumlah besar UKM batik juga masih menggunakan lilin, pewarna kimia serta pemutih secara berlebihan yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat (Hunga,2004; Clean Batik Initiative, The German-Indonesian Chamber of Industry and Commerce-EKONID, 2011). Industri rumahan dengan pola POS membuka peluang kerusakan ekologis skala rumah tangga dan perkampungan tanpa mendapat jaminan rehabilitasi lingkungan dari Pemerintah maupun industri.



Gerakan Ekofeminisme

Perspektif ekofeminisme mempromosikan strategi perlindungan relasi perempuan dan hak-haknya terkait alam dan lingkungan. Identitas ekologis penting untuk dibangun melalui agenda-agenda politik yang membentuk kesadaran dan perilaku perempuan terhadap lingkungan. Ekofeminisme membongkar ihwal keterkaitan manusia dengan alam yang tidak terkait gender. Perempuan Indonesia jamak memiliki kearifan khas perempuan mengenai bagaimana mengelola sumber daya lokal. Perempuan Indonesia mempunyai pengetahuan yang mendalam dan sistematis mengenai proses-proses alam serta meyakini bahwa keyakinan alam harus selalu dipulihkan. Narasi restrukturisasi ekonomi global yang mengkapitalisasi perempuan dan alam harus dilawan, bukan dengan culture based tapi nature based.
Antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat wacana membuat kehendak akan kebenaran mengesampingkan kehendak akan kehidupan. Kehendak akan kebenaran modernitas dan globalitas mengesahkan mesin-mesin menggantikan hubungan intim manusia dengan alam. Kita telah semakin jauh dengan paparan Rozsak (1992) dalam Candraningrum (2014) yakni,”Ecopsychology seeks to heal the more fundamental alienation between the person and the natural environment.” Manusia telah mengalienasikan diri dari alam. Upaya penyatuan manusia dengan alam yang biasa termanifestasi dalam berbagai upacara, syukuran dan perjamuan tradisional adalah tahayul dalam narasi modernitas.

ditulis oleh Kalis Mardi Asih. Lembaga Pers Mahasiswa Islam, HMI Cabang Surakarta

Senin, 25 Agustus 2014

Kata dan Kuasa



Kita, manusia yang berpijak, mengambil manfaat dan menjalani kehidupan di atas tanah Indonesia ini telah sama-sama menginsafi diri untuk berkhidmat sebagai bangsa yang satu sejak dibacakannya teks Proklamasi 1945. Adapun Negara, kemudian kita sepakati sebagai sebuah institusi yang didalamnya kita berjuang bersama untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagaimana tersebut dalam naskah pembukaan UUD 1945. 

Di dalam institusi ini kita memercayakan tugas-tugas kenegaraan kepada para wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Kita juga mengangkat seorang pemimpin dan wakilnya yang kita sebut sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Namun bagaimanapun¸ kita tetap bersepakat bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat. Apa yang baik bagi rakyat, baik itu sistem pendididikan, sumber daya alam untuk pemenuhan hajat hidup serta kebutuhan untuk berserikat dan berkumpul adalah sesuatu yang sedang kita usahakan sejak dahulu hingga selama-lamanya waktu yang dikaruniakan Tuhan YME untuk menjaga Republik kita tercinta.

Lalu bagaimana pola hubungan yang nyata terjadi antara rakyat, pemimpin dan Negara? Sistem hubung apa yang dibangun agar terbentuk rakyat yang merupakan simbol dari sebuah lapis kekuatan sosial yang juga menjalankan sebuah sistem Pemerintahan di luar kesadarannya? Lewat apa dan bagaimana landasannya? Bagaimana kekuatan rakyat pernah benar menjadi padu dalam satu komando kepemimpinan?

Ferdinand de Saussure sebagai bapak bahasa strukturalis pernah memperkenalkan konsep langue dan parole, dimana langue mewakili kaidah suatu bahasa dan parole mewakili praktik bahasa dalam sebuah masyarakat bahasa. Ia membantah pendapat Derrida dengan mengutarakan pendapat bahwa bahasa lisan tetap lebih utama dari bahasa tulis yang selama itu dianggap lebih memiliki prestise. Bahasa lisan bagi Saussure adalah objek kajian utama linguistik karena lebih dekat kepada petanda (signified).

Di depan corong radio di Surabaya pada 10 November 1945 pernah terdengar pekik takbir yang menggema di udara dari seorang Sutomo atau lebih dikenal dengan Bung Tomo. Seruan “Merdeka atau Mati”  berhasil membakar kembali perjuangan rakyat Surabaya di tengah ancaman Inggris dan NICA Belanda. Berkat pidato, rakyat Surabaya tidak takluk untuk menyerahkan senjata dan tidak datang pada Inggris dengan membawa bendera putih sebagai tanda  penyerahan diri. Kata-kata dalam pidato Bung Tomo menjadi semacam kekuatan yang memberi keyakinan pada rakyat bahwa mati demi memperjuangkan kemerdekaan adalah lebih baik daripada menyerah kepada bangsa penjajah.

Kemasyhuran Soekarno dalam berpidato bukan cerita baru bagi bangsa ini. Manakala Bapak bangsa itu lantang berkata-kata, lautan manusia hening dan khidmat, hanyut dalam sebuah decak kagum. Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia disebut bahwa Soekarno pidato di depan publik HBS pertama kali pada usia 16 tahun untuk membahas buah-buah pikiran dan cita-cita. Kelak ketika ia melanjutkan studi ke Technische Hoogeschool te Bandoeng, Bandung dan Jakarta menjadi saksi dimana si Singa Podium ini dapat menggerakkan rakyat untuk mendengar propaganda perlawanannya hingga Belanda pun kewalahan dan berkali-kali ia dicekal karena dianggap berbahaya.

Di era orde lama, tokoh-tokoh Masyumi mashyur berpidato dalam debat Dewan Konstituante pada tahun 1958. Debat mengenai dasar Negara menjadi catatan sejarah yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Asas Islam, Asas Komunis dan Pancasila pernah menjadi sebuah konsepsi yang bertarung dalam sebuah mimbar panas namun penuh kesantunan berlandas keyakinan dan gagasan-gagasan ilmiah. Ujung sidang penuh ketegangan itu akhirnya mendorong Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berbunyi: Kembali pada UUD 1945, Demokrasi Terpimpin dan Pembubaran Dewan Konstituante.

Begitulah, pada masa perjuangan, kata tidak hanya menjadi sebuah petanda yang mewakili reference namun juga kuasa untuk menggerakkan orang lain. Hari ini, ketika semua orang mengagungkan kata demokrasi, berebut bangga karena keran informasi terbuka dari dan untuk siapa saja, namun kata-kata kehilangan makna dan kuasa.

Pidato Presiden SBY pada tiap peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik selama 10 tahun tidak tercatat sebagai sesuatu yang penting bagi rakyat. Rakyat sibuk dengan urusan masing-masing, berpikir tentang biaya hidup dan pendidikan anak yang semakin mahal tanpa merasa butuh mendengar apa yang dipetuahkan oleh SBY. Kata SBY tak berkuasa untuk mengubah kehendak maupun nasib rakyat. Pula, lagu-lagu karya SBY yang digubah lewat kata-kata tidak memiliki daya jika harus bersaing dengan lagu-lagu dangdut yang dipromosikan lewat aneka goyangan selebritis di televisi.

Belum lama ini, Republik mencatat sebuah gelombang massa yang bangkit demi memenangkan seorang Presiden terpilih, Jokowi. Dalam konser dua jari itu Jokowi membacakan maklumat bertajuk “Revolusi Mental”, dimana Jokowi mengajak rakyat untuk membulatkan tekad, menyatukan hati dan bekerja keras sebagai tanggung jawab untuk melakukan perubahan demi kebaikan Indonesia. Puluhan ribu pendukung mendengarkan sambil mengacungkan simbol dua jari ke atas berbentuk huruf V. Kita boleh memiliki harapan, semoga rakyat datang karena ingin melihat pemimpin dari dekat dan mendengar pidato Jokowi, bukan hanya lantaran hiburan dari artis-artis Ibukota yang turut memeriahkan acara.

Kata-kata juga dapat menjadi bedak yang memoles wajah penguasa. Yasraf Amir Piliang memunculkan istilah politik kosmetika untuk menanggapi situasi yang berkembang dalam riuh konstelasi politik tahun ini. Politik ideologi yang merupakan pertarungan antara ide, gagasan, keyakinan dan makna, hari ini dikalahkan oleh politik kosmetika yang mengedepankan penampakan dan citra semata-mata.

Demikian, kata-kata dalam sebuah pertarungan politik dibeli dengan harga yang mahal dari ahli komunikasi sebuah lembaga konsultasi politik. Banyak lembaga konsultasi politik yang menaikkan harga hanya untuk memenuhi ambisi para penguasa untuk berkuasa. Tapi kata-kata yang mahal itu sesungguhnya rapuh dan tidak memiliki kekuatan yang menggerakkan daya dan jiwa rakyat. Bung Tomo, Sukarno, dan Para tokoh yang kita kenang karena orasinya yang menggetarkan itu telah mati. Zaman politik kosmetik ini, rakyat tidak bergerak ke Lapangan Banteng sebab seruan kata-kata pemimpin, rakyat bergerak karena nasi bungkus dan lembar ribuan. Kata-kata menguap bersama angin dan polusi udara di Ibu Kota, lalu hilang entah kemana.

Jumat, 18 Juli 2014

Risalah Cinta Sahara


Cerpen Kalis Mardi Asih
 

Aku suka tubuhmu yang kurus kecil. Nampak ringkih dan penyakitan, padahal kau pasti tak pernah sampai kelaparan. Walaupun kau juga merokok seperti kami, kebutuhan gizimu pastilah sangat tercukupi. Aku juga menyukai gelak tawa yang cair di tengah-tengah ritual mendongengmu di sekolah terminal tiap dua kali seminggu. Kalau boleh memohon pada Tuhan, sejak kedatanganmu, rasa-rasanya aku ingin semua hari berubah menjadi Rabu dan Sabtu, hari ketika kau terjadwal datang ke markas kami -sebuah ruang bekas pencatatan administrasi di belakang terminal kota Depok- agar aku bebas memandangimu dalam waktu yang lebih dari lama.

Tidak hanya aku yang menyukaimu. Hampir semua anak yang biasa mangkal di belakang terminal membicarakanmu pada hari-hari senggang ketika kami menghitung uang hasil mengamen sambil istirahat untuk sekadar minum bir oplosan dan menghisap uap lem aibon. Menurut pendapat mereka, Kak Abdi adalah teman baik yang tidak perlu dicurigai dan dilawan seperti para mahasiswa pengajar sekolah terminal yang lain. Kak Abdi sangat berbeda, tidak seperti gerombolan orang-orang suci yang tiba-tiba sering datang ke tempat kami dan memberikan ceramah tentang halal-haram, surga-neraka, dan juga baik-buruk. Benturkan saja khotbah-khotbah khayal itu ke jidat kami dan jangan harap sampai masuk ke kepala apalagi berharap kami percaya.

Dua bulan lalu, sekolah terminal yang katanya program mahasiswa kampus ternama berjaket almamater kuning cerah itu mendapat persetujuan Ustadz Khomeini, imam masjid terminal yang rajin adzan lima kali sehari dan lebih sering sholat sendirian karena sepertinya tak ada orang yang ingin pergi menjadi makmumnya.  Terminal tetap hiruk pikuk diantara teriakan dan makian, kepulan asap bis, angkutan umum, derit klakson mobil, motor dan asap rokok. Bau-bau keringat para sopir, kondektur, pegawai dinas perhubungan, tukang parkir, pedagang asongan, pengamen, pengemis, mucikari dan lonte yang biasa mangkal di losmen-losmen belakang terminal tertinggal di warung-warung makan, kendaraan, loket, tembok, kursi tunggu, dan angin di terik siang yang membakar kulit.

Aku tidak pernah tahu apa arti nama Sahara. Lagipula sampai hari ketika kau datang aku juga tak menganggap penting arti dari sebuah nama. Aku hanya tahu bahwa namaku Sahara. Memang sepertinya aku pernah dengar dari pelajaran-pelajaran di sekolah yang jarang kuperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang sebuah gurun di Afrika bernama Sahara. Tapi hanya kamu yang bilang kalau barangkali orangtuaku menginginkan aku punya hati yang luas seperti luasnya gurun sahara.

Hati yang luas? Ah, siapa peduli? Tidak sekalipun ibu atau bapak. Ibu hanya seorang buruh cuci berbadan ringkih yang suka menangis ketika bapak pulang ke rumah. Kurasa ia istri yang kurang beruntung dan sangat aneh karena tak pernah mengharapkan suaminya pulang. Bapakku adalah seorang kondektur bis antar kota yang jarang pulang. Barangkali karena manjurnya doa-doa ibu. Tapi semanjur-manjurnya doa ibu, tetap saja sekali waktu bapak pulang. Bapak selalu pulang dengan membawa perempuan muda yang badannya tidak ringkih seperti Ibu. Lalu ibu akan menangis lagi. Dan aku tidak peduli.

Kata orang, aku adalah anak bajingan. Kaupun juga bilang begitu. Sesuai usul Bonek, ketua geng anak terminal, kami harus menceritakan semua aktivitas yang biasa kami lakukan dengan jujur agar para mahasiswa yang membosankan itu tidak betah dan tidak datang-datang lagi ke tempat kami. Bukankah program para manusia terpelajar yang sudah-sudah juga begitu? Paling-paling hanya kuat paling lama sebulan, mereka sudah tidak berminat “berkawan” dengan kami lagi seperti yang mereka ucapkan di awal pertemuan. 

Biasanya Bonek akan bercerita dengan mantap kalau ia biasa membayar duapuluh ribu rupiah agar bisa “dipijit” Tante Rina di losmen belakang terminal. Riko dan Deri akan bercerita disertai tawa yang menggelegak mengingat pengalaman-pengalaman mereka ketika saling memuaskan hasrat satu sama lain karena penghasilannya habis untuk biaya sekolah adik-adiknya yang masih belajar di Sekolah Dasar. Puluhan anak yang lain juga akan menceritakan hobi mereka kabur dari sekolah, memukuli teman sekolahnya yang sok kuasa mentang-mentang kaya, dan yang paling banyak tentunya tentang cerita-cerita menyedihkan mengapa mereka putus sekolah.

 Aku yang katamu berhati luas ini, sudah bergabung bersama geng Bonek untuk mengamen sejak usia sembilan tahun. Selain mengamen, aku juga sering datang ke losmen untuk memijit. Aku kerap mengamen dengan pakaian seksi, sebab seringkali ada om-om yang kemudian menawarku dan kemudian minta dipijit di losmen. Hasilnya lumayan. Aku tidak perlu lagi minta uang untuk bayar sekolah pada Ibu.

Tapi ketika berdekatan denganmu, rasanya aku ingin yang lebih dari itu. Aku merasa aman ketika tempo hari kau mengelus rambutku. Ada getar yang tak biasa, yang ingin sekali aku raih dan aku bungkam dalam waktu. Entah apa.

Tempat kami mengamen dibagi-bagi oleh Emon, lelaki seumuran ayah yang suka berbuat jahat pada beberapa anak laki-laki. Seperti ayah, Emon suka memukul jika hasil mengamen kami tidak terlalu banyak. Emon adalah satu-satunya alasan kami ikut kegiatan-kegiatan membosankan semacam sekolah terminal karena kami punya alasan jika pendapatan kami berkurang. Emon tidak akan berani berhadapan dengan Ustadz Khomeini. Ia berkali-kali dilaporkan ke polisi oleh Pak Ustadz. Tapi ia selalu saja bisa kembali menemukan markas kami setelah keluar dari penjara.

Anak-anak orang kaya yang suka memakai baju dan barang-barang bagus  itu mengajar matematika tiap hari Rabu dan bahasa inggris tiap hari Sabtu. Mereka bilang dua pelajaran itu penting agar kami bisa menjadi orang sukses. Padahal kami tidak pernah ingin jadi orang sukses. Oh, sebenarnya kami tidak tahu arti sukses itu apa. Barangkali, orang sukses itu adalah yang seperti mereka. Kalau benar begitu, aku dan geng anak terminal tidak ingin jadi sukses. Kami hanya ingin terus sama-sama. Minum bir, ngelem sambil sesekali mengendorkan otot-otot bareng tukang pijit di losmen kalau ada uang hasil ngamen yang tersisa. Yang penting kami aman dari jeritan dan makian yang ada di rumah. Aku juga aman dari ibu yang suka menangis dan bapak yang suka memukul ibu.

“Kemarin malam Kak Abdi datang ke Margonda. Dia ikut kita nongkrong sampai pagi.” Riko bercerita sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara kota yang pengap.
“Kak Abdi ikut kalian ngelem? Atau ikut kalian ke losmen buat main-main sama Tante Rina?” Aku bertanya dengan mata sedikit terbelalak. Kaget.
“Enggak lah. Kita cuma minum-minum sedikit. Kak Abdi cuma ngeliatin kita sambil ngerokok dan cerita-cerita sampai ketiduran disana.” Jawab Bonek dengan gerak kepalanya yang khas, sepertinya ada sarafnya yang sudah putus karena kebanyakan ngobat.
“Kak Abdi baik, Har,” Deri menyahut setelah menghabiskan seplastik es teh, ”Dia bilang nggak apa-apa kita kayak gini. Tapi kata Kak Abdi, kita tetep harus inget kalau Tuhan masih peduli sama kita.”
“Peduli? Buktinya?” Aku menginterupsi kalimatnya. Hatiku selalu berdebar-debar tiap nama Abdi disebut.
“Ya kalau nggak peduli, kita nggak akan bisa seneng bareng-bareng kayak gini. Kita masih dikasih banyak temen baik. Masih dikasih duit buat mabok, buat ngelem, buat minta jatah Tante Rina…Kata Kak Abdi itu karena Tuhan yang Maha Baik.”
Ya. Aku tentu juga masih ingat. Suatu sore Kak Abdi menatapku lekat sambil berujar,”Hara, jika hidup mengharuskan kalian jadi bajingan, kalian harus jadi bajingan yang tetap punya cinta di hati. Bajingan yang nggak akan pernah memukul Ibu. Bajingan yang nggak menyusahkan hidup orang lain. Bajingan yang nggak membunuh…”

Aku adalah bajingan yang punya cinta di hati. Cinta untukmu, Kak Abdi.

Kau tidak lebih tampan dari teman-temanmu yang lain, para cendekia yang suka ha-ha-hi-hi setelah mengajar seolah-olah kami adalah anak TK yang gampang dibohongi untuk perintah menyanyi dan menari. Tapi matamu elang, senyummu sangat purba dan aku terhempas tanpa daya di pusarannya. Berkat kau, teman-temanku tidak terlalu melawan lagi pada para manusia terpelajar itu, mereka malah semakin bersemangat datang tiap hari Rabu dan Sabtu. Lucunya, mereka hanya mau berkumpul jika kau datang. Kau akan mulai mendongeng hal-hal lucu tentang Tuhan, menceritakan pengalamanmu hari itu, menyanyi dan memetik gitar dengan tiba-tiba, serta kadang-kadang berdiri untuk berlagak seperti artis sinetron yang memainkan peran. Mereka mendengarkanmu dengan senang, tapi mereka tidak mau belajar matematika ataupun bahasa inggris.
Pada satu hari Sabtu ketika kau pamit pulang dari terminal, aku pernah membuntutimu dengan menyambar motor Bang Mamat, tukang ojek terminal. Kau menuju ke arah kampus dan memarkir motormu di pelataran gedung bertuliskan Fakultas Ilmu Budaya. Kau melangkah cepat sekali masuk ke gedung itu hingga aku tak kuasa mengejar sosokmu. Lagipula, dengan penampilanku yang beda kelas dengan manusia-manusia kuliahan sebangsamu, aku tak punya cukup nyali.

Aku menikmati semua hal yang kau buat. Kurasa inilah yang disebut jatuh cinta.

Hari Rabu pada pekan yang ke sepuluh, akhirnya aku sudah tidak tahan lagi. Hari itu semua yang kulihat di terminal hanyalah bunga dan kupu-kupu beraneka warna. Udara sesak yang menguar berubah menjadi embun subuh hari yang menenangkan. Aku ingin sekali kau tahu perasaanku. Kalau saja bisa, biarkan aku lahir sekali lagi menjadi bunga. Yang kuncup, mekar, layu dan membusuk, pada dahan yang satu. Padamu. Kalau Tuhan memang Pemurah, aku ingin dia memberiku kesempatan. Kali ini saja.
Aku memakai pakaian terbaikku untuk pergi ke sekolah terminal. Aku juga memoles wajahku dengan sedikit foundation dan bedak. Penampilanku makin sempurna dengan memakai kaos ketat berwarna merah dan rok jins selutut andalanku. Kuharap kau akan tertarik dan mimpi-mimpi tentangmu yang telah menghantui selama dua bulan ini akan menjadi kenyataan.
Tapi, sepertinya harapanku tersangkut pada pilar-pilar tembok terminal yang sering membuat sinyal televisi rumah kami jadi buruk. Sore itu, Kak Abdi tak hadir mengajar. Hanya ada rombongan pengajar matematika dan bahasa inggris yang tak kami sukai. Demikian seterusnya pada pekan ke sebelas, ke dua belas dan seterusnya, hingga geng anak terminal tidak ada lagi satupun yang mau hadir untuk belajar pada hari Rabu dan Sabtu.
“Mereka memang brengsek, Hara! Aku dengar sendiri percakapan mereka. Mereka sepakat Kak Abdi nggak akan diundang buat ngajar lagi ke terminal.” Bonek kelihatan begitu gusar. Entah sudah berapa botol bir yang ia tenggak habis.
“Mereka bilang Kak Abdi ngajarin hal-hal buruk ke kita.” Deri berkata lirih sambil menghisap batang rokoknya dalam-dalam. Dari matanya yang memerah, ia nampak sangat kehilangan sosok seorang kakak yang selama ini ia dambakan.
Aku sendiri sudah tak kuasa berkata-kata. Maka kutinggalkan teman-temanku itu menikmati kekecewaan atas sebuah rasa percaya yang lagi-lagi dikhianati oleh seperangkat aturan baik-buruk orang-orang suci.




 

Aku selalu menunggumu di halte kampus depan gedung Fakultas Ilmu Budaya. Aku masih mengamen, tapi aku sudah tidak lagi melayani sopir dan kondektur terminal yang minta dipijit dan kemudian selalu menggagahiku hingga aku kelelahan. Untuk menggantinya, aku kini berjualan koran. Hasilnya lumayan. Anak-anak orang kaya yang belajar di gedung yang sama denganmu sering membeli koranku hingga habis

Aku masih menunggumu dengan harapan yang sama untuk menjadi bunga yang kembang pada dahanmu. Aku percaya kata-katamu, Tuhan pasti mendengar. Tugas kita hanya harus percaya sambil mengisi hati dengan banyak cinta. Aku meyakini pesanmu, meski hingga hari ini kau belum juga kulihat lagi.

Hingga suatu pagi yang bukan Rabu atau Sabtu, aku melihat nama dan fotomu di salah satu koran lokal yang kujajakan. Di foto itu kau tampak sumringah mendapat ucapan selamat dari rektor kampusmu karena mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Perancis.

Jalanan Depok semakin bengkak.
Udara semakin mampat.
Mataku berair.
Puisi-puisi perlahan meninggalkanku.
Tapi aku masih menyukai tubuh kecil, mata elang serta senyummu yang purba, Abdi Negara. Geng anak terminal telah berikrar untuk menjadi insan bajingan penaka Tuhan. Bajingan yang punya cinta. Dan aku menyimpan namamu hingga entah kapan kau kembali kesini, di kampus ini.
*Cerpen ini dimuat dalam buku antologi "Botol-botol berisi senja" yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah.